Daftar Buku:
Tao Of Physics; Menyingkap Paralelisme Fisika Modern dan Mistisisme Timur
Penulis: Fritjof Capra
Penerbit: Jalasutra, Yogyakarta
Tahun: Agustus 2001
Ketebalan: 384+xii+bibliografi+indeks
Ukuran dan ISBN: 14,5cmx21/ 979-96337-2-3
Sinopsis Buku
Buku ini berusaha membuka wawasan baru (new insight) bagi manusia modern bahwa ada paralelisme yang kuat antara fisika modern dan mistisisme timur. Menurut klaim Capra, perjalanan sejarah berkembangnya fisika pada masa modern akhirnya mencapai titik temu dengan pengalaman-pengalaman intuitif para ahli Mistisisme Timur. Fisika modern dalam buku ini dicerminkan oleh revolusi Relativitas Einstein dan teori Quantum Heisenberg. Dan, Mistisisme Timur dalam hal ini diwakili oleh ajaran-ajaran Taoisme, Buddhisme, Konfusius dan para ahli sufi.
Berdasarkan teori Relativitas, Einstein berusaha mengubah cara pandang dunia (weltanschauung) tentang konsep ruang dan waktu. Teori relativitas Einstein menggugurkan kesahihan absolutisme ruang dan waktu dari Newton. Bagi Einstein, ruang dan waktu itu bersifat relatif dan eksistensinya tergantung pada pengamatnya. Sehingga, keberadaan fakta eksternal tidaklah berdiri sendiri dan independen melainkan memiliki keterkaitan dengan subyek yang mengarahkan intensionalitasnya. Pandangan ini berakhir pada tesis radikal bahwa realitas adalah konstruksi pikiran manusia. Realitas merupakan eksistensi atau fakta yang tergantung dengan fakta di luarnya.
Sementara itu, teori Quantum berusaha meneliti tentang dinamika partikel subatom yang ternyata memiliki asas fundamental yang bersifat non-materi. Partikel terkecil dari subatom memiliki semacam ketidakpastian yang tidak bisa diukur secara matematis. Kalkulasi matematis yang mendasarkan pada konsep kesadaran tidak mampu meneliti secara akurat asas ketidakpastian ini.
Mistisisme Buddha merupakan puncak spiritual-kontemplatif yang memiliki semacam akar-akar psikologis yang bersifat ketidaksadaran (unconsciousness). Dan, keadaan psikologis ini mampu menciptakan realitas yang berbeda dengan dunia kesadaran. Realitas ini bersifat multi dimensi dan memiliki akar-akarnya pada kekuatan spiritual.
Pengalaman-pengalaman intuitif para mistikus mampu membentuk ruang dan waktunya sendiri. Ruang dan waktu ini berbeda dengan alam kesadaran yang kita alami setiap hari. Ruang dan waktu ini bersifat relatif dan hal ini dikonstruksi oleh ketidaksadaran yang mengandung dinamika ketidakpastian. Dalam pandangan Mistisisme Timur, dunia empirik ini hanyalah salah satu dari dimensi yang mampu dibuka oleh kekuatan pikiran manusia. Masih dimungkinkan bagi manusia modern untuk mengeksplorasi dan mengkonstruksi dunia non-empirik yang saling melipat dengan dunia kesadaran. Ada sebuah bait yang berusaha untuk mewakili pandangan ini;
Alam semesta yang maha luas
Saling gulung menggulung dengan dunia dalam yang tak terbatas
Tak ada tepi ataupun tengah
Tumpang tindih atas dan bawah
Sejarah Filsafat Barat dan kaitannya dengan kondisi sosio-politik dari zaman kuno hingga sekarang
Penulis: Bertrand Russell
Penerjemah: Sigit Jatmiko dan kawan-kawan
Penerbit: Pustaka Pelajar
Tahun: Januari 2004
Ketebalan: 110 halaman
Ukuran dan ISBN: 14×21 cm/ 979-3237-34-1
Sinopsis Buku
Dalam buku ini, penulis berusaha memaparkan sebuah tinjauan sejarah filsafat Barat yang dimulai sejak zaman pra-Socrates. Zaman pra-Socrates menandai permulaan manusia dalam memikirkan asas-asas fundamental alam semesta. Dalam bahasa lain adalah filsafat alam kuno. Kemudian, kosmologi kuno ini mengalami pergeseran menuju filsafat yang berpusat pada manusia. Socrates berdiri paling depan dalam menjelaskan antropologi manusia yang didasari kebijakan-kebijakan filosofis. Setelah babak Socrates, Plato dan Aristoteles, sejarah filsafat berlabuh dalam pemikiran kontemplatif teologis, yaitu dalam wujud filsafat Plotinus.
Sejarah filsafat Barat sebenarnya merupakan gerak siklis dari kecenderungan kosmologi kuno (kosmosentris), antropologi filsafat (antroposentris), dan filsafat ketuhanan (teosentris). Sejarah filsafat ini mendapatkan senjatanya dalam terang dialektika yang saling menegasikan tetapi memunculkan sintesa yang dinamis. Ditulis dalam bahasa yang agak rumit dan tajam. Meskipun kecenderungan penulis yang agak deterministik, buku ini layak mendapatkan apresiasi bagi pembaca yang ingin mendapatkan uraian filsafat Barat yang runtut dan historis. Selamat membaca.
Karya Lengkap Driyarkara; Sebuah Kumpulan Tulisan
Penyunting: A. Sudiarja, SJ dan kawan-kawan
Penerbit: PT. Gramedia
Tahun: 2006
Ketebalan: 1501+indeks
Ukuran dan ISBN: 14×21 cm/ 979-22-2329-0
Sinopsis Buku
Ini adalah sebuah kumpulan essay yang dilahirkan dari sebuah renungan yang panjang dan berliku-liku. Profesor Dr. N. Driyarkara, SJ, boleh dikatakan sosok humanis yang selalu gelisah dengan permasalahan pemebentukan kembali masyarakat dan negara dalam rentang sejarah. Dari perjalanan pemikirannya, Driyarkara memulai minat pada pokok-pokok filsafat Barat yang murni akademis sebagaimana tampak dalam disertasinya. Sesudah itu, secara pelan-pelan almarhum memasuki persoalan-persoalan filosofis yang ditemukannya dalam peristiwa-peristiwa sosial, politik, pendidikan dan lainnya, yang dihadapi dalam tugas-tugasnya. Hal ini memperlihatkan dinamika kreatif seorang pemikir yang mempunyai keterlibatan konkret pada persoalan masyarakat dan bangsanya.
Keterlibatan Driyarkara tidak hanya terbatas pada permasalahan dan persoalan saja, melainkan juga pada penggalian khazanah budaya masyarakat dan bangsanya sebagaimana tampak dari buku-buku dan bacaan yang dirujuknya, terutama kesusateraan Jawa yang sangat dikenal dan dicintainya.
Mitos Gerak Kembali Yang Abadi, diterjemahkan dari: The Myth of the Eternal Return or Cosmos and History
Penulis: Mircea Eliade
Penerjemah: Cuk Ananta
Penerbit: Ikon Teralitera, Yogyakarta
Tahun: Oktober 2002
Ketebalan: xiv+ 191hlm
Ukuran dan ISBN: 14×23 cm/ 979-3016-23-X
Sinopsis Buku
Buku ini merupakan salah satu bentuk tulisan yang mengurai gerak siklis ide-ide agama primitif dalam term fenomenologi. Fenomenologi agama dipandang oleh Mircea Eliade memiliki aura yang lebih menyejukkan dibandingkan dengan metode positifistis yang cenderung reduksionis. Dalam buku ini, pengaruh Carl Jung nampak besar, yaitu ketika Mircea Eliade menggunakan istilah “arketipe” untuk menjelaskan bagaimana ide kosmos primitif bisa terwariskan sampai ke manusia modern. Dengan arketipe, banyak sekali unsur-unsur psikologi orang-orang primitif muncul kembali dalam rentang sejarah. Sehingga, sejarah oleh Mircea ditafsirkan sebagai gerak siklis yang mengulang, seperti ajaran agama Hindu tentang gerak Brahman. Buku ini berusaha menghidupkan kembali artefak-artefak ajaran agama kuno yang mempunyai relevansi dengan kehidupan modern.
Totem dan Tabu, diterjemahkan dari judul asli: Totem and Taboo
Penulis: Sigmund Freud
Penerjemah: Kurniawan Adi Saputro
Penerbit: Jendela, Yogyakarta
Tahun: September 2001
Ketebalan: 256 halaman
Ukuran dan ISBN: 14×21 cm/ 979-95978-22-3
Sinopsis buku
Dua tema utama, Totem dan Tabu, yang menjadi judul buku ini tidak akan mendapatkan porsi yang sama. Persoalan tabu disajikan lebih tuntas, dan penulis bisa menjelaskannya dengan lebih yakin. Sementara penyelidikan atas persoalan totemisme, dengan sederhana, bisa penulis katakan: ”Inilah yang untuk sementara bisa disumbangkan psikoanalisa untuk menjelaskan persoalan totemisme.” Perbedaan dalam mendekati dua persoalan di atas disebabkan kenyataan bahwa tabu masih ada di tengah-tengah kita. Jelas, tabu dilahirkan dari dan diarahkan pada hal lain, tetapi secara psikologis tabu merupakan “imperatif kategoris” yang cenderung memaksakan diri dan menolak semua alasan-alasan sadar. Di sisi lain, totemisme adalah institusi religio-sosial yang asing dengan pemikiran kita sekarang karena ia telah lama dibuang dan digantikan oleh bentuk-bentuk religio-sosial yang baru. Dalam agama, moral, dan adat istiadat bangsa-bangsa beradab sekarang ini, yang tersisa hanyalah jejak-jejak samar bahkan di kalangan bangsa-bangsa primitif yang masih mempertahankannya sekalipun. Totemisme telah mengalami perubahan-perubahan besar. Kemajuan sosial dan material umat manusia jelas telah mengubah tabu, tetapi tidak sebesar yang terjadi pada totemisme.
Dalam buku ini, penulis berusaha menemukan makna asli totemisme melalui jejak-jejaknya yang kita lihat pada anak-anak, yaitu melalui indikasi-indikasinya yang muncul kembali dalam perkembangan anak-anak kita. Hubungan erat anatara totem dan tabu adalah sebuah hasil penelitian yang bersifat hipotetik. Meskipun, hipotesa penulis mengarah pada kesimpulan yang fantastik, tidak ada alasan untuk menolak kemungkinan bahwa kesimpulan penulis tidak sesuai dengan kenyataan di masa lalu yang sangat sulit untuk kita rekonstruksi. Selamat membaca.
Diskursus Tafsir Al-Qur’an Modern, diterjemahkan dari judul asli: The Interpretation of the Koran in Modern Egypt
Penulis: J.J.G.Jansen
Penerbit: Tiara Wacana, Yogyakarta
Tahun: Agustus, 1997
Ketebalan: 186 halaman+indeks
Ukuran dan ISBN: 14,5cmx18cm/ 979-8120-75-6
Sinopsis Buku
Dalam wacana tafsir Al-Qur’an, selama ini kita mengenal beberapa perspektif penulisan tafsir, seperti maudhu’i, sastra, ilmiah, dan lain-lain. Pengklasifikasian seperti itu mampu memberikan gambaran yang utuh mengenai genre tafsir yang ada. Untuk memenuhi kebutuhan ini, maka kehadiran buku J.J.G. Jansen ini menjadi berarti. Dalam rangka memberi gambaran yang jelas mengenai perkembangan tafsir modern di Mesir, Jansen mencoba untuk menggunakan klasifikasi baru, yaitu perspektif sejarah alam, filologi, dan perspektif praktis. Apakah model seperti ini benar-benar memenuhi tujuan itu? Mungkin. Yang jelas, Jansen memang memiliki nilai lebih. Ia memotret perspektif tafsir yang belum pernah di sentuh oleh para penulis sebelumnya, yaitu perspektif feminis. Selamat membaca.
Mati Suri: kemanakah kita Setelah Mati
Penulis: Rubiana Soeboer
Penerbit: PT. Bhuana Ilmu Populer
Tahun: 2005
Ketebalan: xxii+149 hal
Ukuran dan ISBN: 21cm/ 979-694-385-9
Sinopsis: Kematian merupakan misteri bagi umat manusia yang sampai hari ini belum terpecahkan. Walaupun begitu, usaha manusia untuk terus mencari kebenaran di balik kematian telah berlangsung berabad-abad. Dalam ilmu pengetahuan, usaha penelusuran misteri ini dilakukan dengan sistematis dan mengikuti metode baku. Dalam hal kematian, karena belum ada metode yang empirik bisa memasuki alam kematian, maka para ilmuwan mencoba menelusuri pengalaman mereka yang pernah ”mati suri”. Penalaman-pengalaman inilah yang kemudian oleh penulis dikompilasi dari berbagai literatur, dan kemudian dianalisis dengan menggunakan teori psikologi.
Peta Studi Islam
Penulis: Azim Nanji (Ed.)
Penerbit: Fajar Pustaka Baru
Ketebalan: xxiv+404 hlm
Ukuran dan ISBN: 979-9555-84-1/13,5 x 20 cm
Sinopsis Buku
Buku editan Azim Nanji merupakan kumpulan dari beberapa tulisan para intelektual terkemuka yang membahas mengenai studi Islam. Tulisan tersebut sebenarnya merpakan hasil dari simposium yang diselenggarakan di London pada tahun 1983 yang memabhas arah baru dalam Kajian Islam. Beberapa penulisnya aalah Mohammed Arkoun yang menulis tentang Studi Islam di Perancis, C. Edmund Bosworth di Inggris, Jacques Waardenburg di Belanda, dan lainnya. Para penulis berangkat dari realita penulisan Studi Islam di negaranya masing-masing, mencoba mengungkap berbagai kelemahan yang ada dan mengkritisinya. Fokus utamanya adalah mendiskusikan beragam konteks dari penerapan Studi Islam sebagai bagian dari orientalisme di beberapa negara Barat. Tulisan dalam buku ini juga mampu mengingkap efek ironis, yakni “Orinetalism” dan “Islamic Studies” yang oleh tradisi intelektual Barat-Eropa digunakan untuk mengkaji “yang lain” (the other), ternyata telah menjadi teks serta objek kajian sebagai “yang lain”. Satu hal penting yang perlu diperhatikan dari buku ini sebagaimana yang digagas oleh Mohammed Arkoun dalam bab terakhir buku ini, adalah bagaimana semestinya mengkaji ulang pemahaman kita mengenai Islam dalam membangun sebuah kerangka metodologis yang baru, berkaitan dengan Studi Islam, bahkan jika diperlukan melakukan sebuah dekonstruksi. Dalam hal ini Arkoun mendedah lebih dalam mengenai pentingnya epistemologi, beberapa hal yang “tak terpikirkan” dan menjadi “terpikirkan” dalam Studi Islam klasik dan kontemporer.
Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar
Penulis: M. Nur Kholis Setiawan
Penerbit: eLSAQ Press
Tahun: Desember, 2005
Ketebalan: 336 halaman+ indeks
Ukuran dan ISBN: 14×21 cm/ 979-9715-23-7
Sinopsis Buku
Penggunaan keilmuan kontemporer terhadap teks keagamaan, termasuk pendekatan susastra, tidak akan mengubah apalagi mempengaruhi secara negatif status teks ilahi. Dan sebaliknya, keilmuan tersebut menjadi pintu masuk terhadap teks keagamaan yang menunjukkan bahwa pemahaman kita terhadapnya, secara saintifik, dalam perspektif historis, telah berubah.
Buku ini sedikitnya menunjuk tiga hal penting; pertama, pendekatan susastra terhadap al-Qur’an bisa dilakukan dengan menggunakan teori-teori yang berkembang dalam pemahaman dan kritik sastra modern. Kedua, benih-benih pemikiran susastra sudah ada dalam karya-karya tafsir klasik. Ketiga, salah satu urgensi pemikiran susastra adalah bisa dipersepsinya al-Qur’an dengan baik oleh kalangan non muslim dalam keterlibatannya melakukan kajian terhadap aspek susastra al-Qur’an.
Buku ini menegaskan kepada kita bahwa al-Qur’an yang merupakan karya sastra terbesar sepanjang zaman bisa didekati dengan pendekatan yang sastrawi. Sebuah pendekatan yang sejatinya sudah dirintis sejak zaman Nabi dan berkembang pada era klasik Islam. Dengan menggunakan piranti keilmuan kontemporer penulis telah meyakinkan pambaca bahwa pendekatan susastra bukan saja sah, bahkan salah satu pendekatan paling penting ketika hendak memahami kitab suci al-Qur’an
Pengantar Umum Psikoanalisis
Penulis: Sigmund Freud
Penerjemah: Haris Setiowati
Penerbit: Pustaka Pelajar
Tahun: Agustus, 2006
Ketebalan: 707 halaman+ indeks
Ukuran dan ISBN: 14×21 cm/ 979-2458-60-3
Sinopsis Buku
Freud, seperti halnya Karl Marx dan Einstein adalah arsitek dunia modern. Dunia modern kita terbentuk lewat gagasan-gagasan mereka, baik melalui reaksi menolak atau menerimanya. Ketiganya punya keyakinan yang besar tentang tatanan fundamental dari realitas, yang dalam konteks ini merupakan suatu sikap dasar yang mampu melihat kerja alam, di mana manusia merupakan bagian di dalamnya, untuk membongkar rahasia-rahasia yang perlu ditemukan dan mempelajari pola serta desainnya. Dengan demikian, karya-karya mereka, dalam cara-cara masing-masing bisa ikut membentuk elemen tertinggi dari seni pengetahuan untuk memahami manusia, yang juga meliputi kebutuhannya untuk mengetahui sesuatu.
Untuk saat ini kita akan berbicara tentang Freud, dan untuk itu kita akan kembali pada konsep tentang sifat manusia dalam pemikirannya. Dan bagi mereka yang sudah mengenal Freud, tidak perlu dijelaskan lagi bahwa kuliah-kuliah awal Freud tentang psikoanalisis adalah merupakan konsep-konsep dasar pemikirannya tentang sifat dasar manusia.
Buku ini merupakan salah satu presentasi keilmuan Freud yang dipaparkan secara lengkap. Sebuah kumpulan kuliah yang ditujukan kepada masyarakat awam tentang teori-teori fundamental dari psikoanalisis modern. Dipaparkan secara sederhana dengan gaya bahasa percakapan yang mudah dicerna. Inilah hasil ringkasan dari penelitian-penelitian yang dikerjakan secara seksama, teliti, dan sungguh-sungguh selam sekian waktu.
Dalam buku ini Freud menggambarkan metode-metode dan hasil-hasil psikoanalisis itu secara mengejutkan dan terus terang, tanpa menyulitkan dan tanpa batas.
Ajal Agama di Tengah Kejayaan Sains
Penulis: Huston Smith
Penerjemah: Ary Budiyanto
Penerbit: Mizan Media Utama
Tebal: xxviii+442 hlm
Ukuran dan ISBN: 13,5 x 20 cm/ 979-433-325-5
Sinopsis Buku
Huston Smith dalam bukunya ini agaknya berangkat dari kegelisahannya akan krisis yang melanda kehidupan manusia, baik di Timur maupun Barat, terutama yang menimpa dunia spiritual dunia modern. Kondisi tersebut menurut Smith dicirikan antara lain oleh rasa kehilangan, baik pada yang religius maupun pada Yang Transenden dalam cakrawala yang lebih luas. Dunia kehilangan dimensi manusiawinya, dan manusia kehilangan kendali atas dirinya. Smith membagi bukunya ini menjadi dua bagian besar, bagian pertama berupaya untuk mendedahkan komplesitas permasalahan yang diakibatkan oleh modernisme dan bagian kedua berupaya untuk memberikan sebuah pandangan sebagai solusi atas permasalahan yang ada. Dengan titik tolak dari tradisionalisme, Smith membongkar beberapa kelemahan kosmologis dan sosial dari modernisme dan bahkan posmodernisme yang mencoba mengoreksi modernisme. Dinyatakannya bahwa modernitas pencapaiannya hanya sebatas pada pandangan dunia-ilmiah atau istilah yang lebih tepat menurutnya adalah kosmologi, sedangkan pencapaian posmodernitas sebatas pada revolusi keadilan.
Di sini, Smith mengunakan terowongan sebagai metafora untuk menggambarkan realitas dunia modernits ini termasuk segala sesuatu yang termasuk di dalamnya. Smith menyatakan lantai dasar terowongan realitas tersebut adalah saintisme yang menopang ketiga sisi lainnya, ia menyatakan sains itu baik tapi tidak ada yang baik dalam saintisme. Hal ini karena sains menganggap dirinya sebagai satu-satunya metode yang paling benar dalam mencapai kebenaran dan entitas material –yang ditangani saintisme- dianggap sebagai hal paling fundamental yang ada. Pada dinding kiri terowongan adalah pendidikan, Smith memotret pendidikan Amerika yang mulai kehilangan dimensi spiritualitasnya karena tarikan saintisme dalam ranah sosial, psikologi, humaniora, filsafat, dan kajian agama. Kemudian atap terowongan adalah media yang turut menyebarkan pendangkalan pandangan dunia-tradisional. Pada samping kanan terowongan terdapat hukum yang direpresentasikan oleh negara dipandang mengklaim memiliki hak prerogatif atas agama. Dalam hal ini misalnya, Smith mengutip Carter mengenai pandangan kalangan liberal Amerika, bahwa tujuan ideal Amerika akan terancam jika kekuatan religius erat bergandengan dengan kekuatan politik. Smith kemudian bergerak ke arah bahasan yang mencoba meredam saintisme yang meminggirkan agama ke sains yang berpotensi memperkaya pemikiran religius, terutama konsepsi cahaya yang diulas oleh Einstein. Smith pun berharap pada fisika, bilogi, dan psiklogi kognitif. Gagasan inti Smith adalah kembali pada pandangan dunia-tradisional, pada agama-agama. Secara teknikal, penulisan buku ini pada bab-bab awal, Smith memulai diskusinya dari beberapa buku dan kemudian diulasnya secara kritis. Pada akhir buku ini, dilampirkan beberapa tulisan yang membantah pandangan Smith dan jawaban Smith atas pandangan mereka, di samping itu juga dituliskan pandangan seorang fisikawan terkemuka, Varadaraja V. Raman yang berempati pada Smith. Dengan bahasa yang renyah dengan sisipan pengalaman pribadi dan realitas kehidupan lainnya. Keunggulannya jelas, ia menghidupkan kembali refleksi filosofis-metafisis, dan solusinya adalah kembali pada agama-agama.
Islam, HAM dan Keindonesiaan
Editor: Fajar riza Ul Haq dan Endang Tirtana
Penerbit: MAARIF Institue for Culture and Humanity
Tahun: 2007
Ketebalan: xiv+173hal
Ukuran dan ISBN: 15x21cm/ 978-979-97766-1-7
Sinopsis Buku
Buku ini merupakan hasil proceeding kegiatan Halaqah Islam, HAM dan Keindonesiaan yang diselenggarakan oleh MAARIF Institute for Culture and Humanity. Secara umum halaqah ini bertujuan mendialogkan Islam dan HAM dalam konteks dan peta sosiologis keindonesiaan. Sehingga, kegiatan tersebut mampu mereaktualisasi nilai-nilai moralitas, tanggung jawab sosial dan kemanusiaan. Buku ini berisi lima bab yang berasal dari dialog, makalah, dan ringkasan pokok-pokok pemikiran hasil halaqah tersebut. Buku ini merupakan sebuah refleksi para pendidik agama yang diharapkan melahirkan aksi bersama untuk transformasi pendidikan agama di Indonesia.
Moralitas dan Modernitas, diterjemahkan dari judul asli: Morality and Modernity
Penulis: Ross Poole
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Tahun: Agustus 2003
Ketebalan: 254 halaman+indeks
Ukuran dan ISBN: 14,5cmx21/ 979-413-773-1
Sinopsis Buku
Sementara banyak masyarakat giat untuk melangsungkan proses modernisasi, hakikat modernitas sebagai proyek pembebasan manusia akhir-akhir ini mulai ramai-ramai dipersoalkan di Barat sendiri. Buku ini membahas permasalahan-pemasalahan yang sangat mendasar dalam masyarakat dewasa ini, yaitu kaitan antara modernitas dan krisis moralitas. Masyarakat modern yang mengejar kekuasaan, kenikmatan, dan kekayaan membutuhkan moralitas sekaligus membuatnya mustahil.
Sambil membatasi pokok permasalahannya, Ross Poole memberikan catatan kritis unutk sejumlah filsuf besar, seperti: Kant, Marx, Nietzsche, Habermas, Rawls, Gewirth, dan MacIntyre. Selain mendiskusikan berbagai macam konsep moralitas yang berkembang dalam masyarakat modern, buku ini juga melontarkan kritik sistematis atas tiga reaksi utama terhadap modernitas: liberalisme, nasionalisme, dan nihilisme. Juga penting, buku ini melontarkan masalah perbedaan konsep moralitas secara seksual. Beberapa tema besar dalam teori sosial kontemporer- kekuasaan, kapitalisme, rasionalisme- tak luput dari analis kritis buku ini. Selamat membaca.
The Meaning and End of Religion/Memburu Makna Agama
Penulis: Wilfred Cantwell Smith
Penerbit: Mizan
Tahun: Bandung, 2004
Ketebalan: 478hal+xi+bibliografi
Ukuran dan ISBN: 20x15cm /979-433-372-7
Sinopsis Buku
Wilfred Cantwell Smith [21 Juli 1916–7 Februari 2000] adalah ahli agama yang dahsyat. Pengaruhnya dalam kajian-kajian ‘pembaruan agama’ luar biasa. Lahir di kota Toronto, salah satu propinsi di Canada, ia adalah seorang professor dalam perbandingan agama di Universitas Harvard USA. Setelah mendapat gelar Ph.D. di Universitas Princeton, Smith kemudian mendirikan Institute Studi Islam di Universitas McGill pada tahun 1949-1951. Pada tahun 1964 Smith menjadi direktur Harvard University’s Center for the Study of World Religions. Hidupnya diperuntukkan buat riset dan mendalami kehidupan keagamaan. Karena ketekunannya berturut-turut kemudian melahirkan buku-buku bersejarah yang mengungkap kajian agama-agama di dunia. Buku The Meaning and End of Religion, yang kemudian diterbitkan Mizan dengan judul Memburu Makna Agama/Penerjemah, Landung Simatupang/Penyunting, Ahmad Baiquni/Bandung, Tahun 2004 ini berisi delapan bab; pendahuluan, religi: problem devinisi, budaya-budaya lain; religi-religi, kasus khusus Islam, apakah konsepnya memadai, tradisi kumulatif, iman dan kesimpulan.
Buku ini terbit pertama kali tahun 1962 dan langsung menjadi buah bibir di kalangan ahli agama. Kenapa menjadi buah bibir? Salah satu jawabannya karena Smith menggunakan banyak metoda yang tak lazim digunakan oleh ahli agama lainnya. Ia mengupas agama dengan tiga pendekatan baru zaman itu. Pertama, bagaimana orang-orang mengucapkan secara lisan tentang agama. Cara ini menjadi basis ontologi yang menjelaskan bahwa apa yang diucapkan tidak merupakan gambaran sempurna dari yang diinginkan. Kedua, bagaimana orang-orang menuliskan agama yang dipercayainya. Cara ini menjadi basis epistemologi yang meneguhkan bahwa apa yang dituliskan belum mampu menjelaskan keseluruhan apa yang diharapan. Ketiga, bagaimana keadaan dunia nyata yang melingkupi keberadaan agama. Cara ini menjadi basis aksiologi yang menjelaskan bahwa apa yang diidealkan belum tentu menjadi apa yang Tuhan-Manusia-Alam inginkan [teoantroekosentris].
Dengan tiga pendekatan yang sudah dibuat di awal buku, Smith kemudian merumuskan bahwa agama adalah suatu istilah yang hendak merangkum seluruh hal-ihwal. Ia berbicara, mengisahkan dan meyakini tentang Tuhan, manusia, alam. Ia juga berkehendak mengenalkan mahluk lain; iblis dan malaikat. Ia juga mengkonsep dosa dan pahala. Ia juga mendesain gagasan tentang neraka dan surga. Ia juga mengandung pengetahuan futurologis tentang masa kini, masa lalu yang paling lampau, dan masa depan yang tak berujung [akherat]. Ia juga menyodorkan hal-hal yang terpikirkan dan yang tak terpikirkan. Ia seperti grand super mall yang menyediakan segala yang manusia perlukan dalam perjalanan hidupnya.
Karena begitu luasnya kekuasaan kerajaan agama, banyak orang bertanya dengan sederhana; bagaimana agama mesti didekati, dipahami dan dilaksanakan? Selanjutnya timbul pertanyaan, mungkinkah menciptakan suatu standar objektif untuk menilai kebenaran suatu agama sehingga orang mampu menilai yang ini benar dan yang itu tersesat? Dan akhirnya, bagaimana cara kita mempertimbangkan aspek-aspek tak teramati (non-observables) dalam agama secara obyektif?
Untuk mendekati agama, Smith membagi cara pendekatan dengan menempatkan dua yang berbeda. Pertama, bagi para pengamat dan pengkaji, agama lebih merupakan konstruk intelektual atas hal-hal yang terpikirkan dan teramati (the observables). Kedua, bagi orang yang beriman, agama bukan sekadar sekumpulan the observables baik itu doktrin maupun praktik ibadah. Melalui dan di dalam agama, orang beriman melabuhkan impian terjauh tentang kesempurnaan dan kebahagiaan hidup; ketakutan terdalam akan ketiadaan dan kesia-siaan, kerinduan mencekam akan cinta dan keabadian. Karena itu, agama dihayati bukan sebagai abstraksi kosong, melainkan sebagai sesuatu yang dihidupi dan menghidupi orang beriman, sebagai inti sari kehidupan itu sendiri. Agama diletakkan sebagai jalan hidup, jalan keselamatan, jalan keabadian.
Untuk memahami agama, Smith menawarkan jalan sejarah dan psikologi. Kita tahu Smith adalah seorang sejarahwan agama yang memiliki pengalaman langsung dengan berbagai macam agama ketika mengajar di India pada tahun 1941-1945. Secara psikologis, ia banyak merasakan langsung hubungan antar-intra agama yang pasang surut. Kadang harmonis, kadang saling menhancurkan. Dengan pengalaman tersebut maka Smith menawarkan cara untuk melaksanakan agama adalah dengan sikap terbuka dan plural. Dengan rekam jejak yang beragam itulah kemudian Smith menggagas pluralisme agama sebagai tahapan baru bagi kaum beriman agar dapat memfungsikan agama secara bermanfaat dalam hubungan yang harmonis. Syarat utama tahapan ini ialah kita semua diminta untuk memahami tradisi-tradisi keagamaan lain di samping tradisi keagamaan kita sendiri.
Salah satu hipotesanya yang sangat terkenal adalah; “membangun teologi di dalam benteng satu agama sudah tidak memadai lagi.” Dengan hipotesa ini, Smith mengawali pernyataan teologisnya tentang pluralisme agama dengan menjelaskan adanya implikasi moral dan juga implikasi konseptual wahyu. Pada tingkat moral, wahyu Tuhan mestilah menghendaki rekonsiliasi dan rasa kebersamaan yang dalam. Sementara, pada taraf konseptual wahyu, Smith mulai dengan menyatakan bahwa setiap perumusan mengenai iman suatu agama harus juga mencakup suatu doktrin mengenai agama/kepercayaan lain.
Selanjutnya Smith menulis, “tampaknya tidak seorang pun [pemuka religius besar di dunia ini—kecuali Mani (216-277M) yang dikenal sebagai agama Manichaeanisme] yang secara sadar/nalar dan terencana mendirikan suatu religi [hal. 156].” Dengan argument ini, makin jelaslah bahwa ada faktor eksternal yang hadir dan “sama” sebagai subyek kelahirannya, dialah Tuhan. Dus, manusia sesungguhnya adalah hewan yang berTuhan [hal. 202]. Dalam tradisi Islam, manusia adalah ‘hayawanun rabbaniyun.’
Untuk menguatkan tesis tersebut, Smith mencontohkan kata Islam. Dengan pendekatan semiotika, didapati bahwa Islam hanyalah kate benda verbal; nama suatu tindakan, bukan institusi; nama suatu keputusan personal, bukan sistem sosial. Sebagai agama dalam pengertian sekarang, menurut Smith datangnya belakangan. Dengan demikian, pengetahuan akan religi dirinya, semestinya dibarengi dengan religi orang lain agar paham makna “agama” secara “kelahiran dan tujuan.” Walaupun kata Smith, ‘tidak semua pengamat percaya pada Tuhan dan tidak semua orang taat peduli pada sejarah; tetapi sulit menghindari keduanya [hal. 226].’
Pendirian teologis di atas oleh Smith dimasukannya ke dalam analisis mengenai cara kita menggunakan istilah agama. Smith menjelaskan bahwa penggunaan teologi yang eksklusif mengakibatkan agama orang lain dipandang sebagai penyembahan berhala dan menyamakan Tuhan mereka dengan dewa. Sebagai contoh, Smith mengutip pernyataan beberapa teolog Kristen yang menyatakan bahwa Tuhan dari agama-agama lain senantiasa merupakan suatu berhala. Demikian juga bagi beberapa teolog Muslim yang menganggap Yesus sebagai suatu berhala. Contoh-contoh mengenai sikap eksklusif seperti itu adalah contoh dari keangkuhan agama yang tidak dapat kita terima. Sebab, bagi Smith, semua agama mengarah kepada tujuan akhir yakni Tuhan. Tuhan adalah tujuan akhir agama juga dalam pengertian bahwa begitu Dia tampil secara gamblang di hadapan kita, dalam cinta dan kasihNya maka seluruh kebenaran lainnya akan memudar; atau sekurang-kurangnya hiasan agama jatuh ke bumi, tempatnya yang seharusnya, dan konsep agama [dirinya] yang paling benar ‘berakhir.’
Smith merasa bahwa pemahaman mengenai agama ini diperlukan jikalau kita ingin berlaku adil terhadap dunia tempat kita hidup dan terhadap Tuhan sebagaimana diwahyukan oleh agama yang kita anut. Semua agama, entah itu Islam, Kristen, Hindu, Buddha dan sebagainya, hendaknya harus dipahami sebagai suatu perjumpaan yang penting dan berubah-ubah antara yang ilahi dan manusia. Dengan pemahaman i ni, Smith mengharapkan adanya toleransi antar umat beragama yang berbeda-beda tersebut. Saling memanfaatkan agama dan keyakinan masing-masing dengan sikap terbuka dan saling menghormati demi kemajuan kemanusiaan akhirnya menjadi cita-cita Smith dalam ‘memaknai agama’ yang benar.
Bagi Smith, teologi harus mengglobal, sifat beragama harus inklusif, sikap beragama harus plural, dan tujuan ideal agama adalah bersama dalam keTuhanan harmoni yang toleran. Hidup berdampingan atau koeksistensi, kata Smith, jikalah tidak merupakan kebenaran final tentang kebinekaan manusia, setidak-tidaknya tampak sebagai keniscayaan yang urgen dan sesungguhnyalah menjadi hikmah yang agung [hal. 16].
Karena itu, bangkitnya kesadaran diri dalam sejarah religius umat manusia merupakan ‘kejadian yang drastis.’ Akibat-akibatnya susah diramalkan secara meyakinkan oleh siapa saja [hal. 342]. Ke depan, kita harus menyadari bahwa manusia dengan iman religiusnya selalu akan hidup di dunia dan bukan dalam klaim di tempat lain. Manusia akan terpengaruh dan ditentukan oleh tekanan-tekanan dunia, terbatasi dalam ketidaksempurnaan dunia [hal. 264]. Akibatnya, agama dan manusia akan selalu berdampingan, saling menguntungkan serta membentuk hubungan yang saling melengkapi. Berhentinya agama, adalah berhentinya manusia; begitu pula sebaliknya. Karena itu, kita dituntut untuk selalu meredefinisi keagamaan dan kemanusiaan kita. Walaupun gagasan ini prestisius bahkan ambisius; tetapi harus dikerjakan oleh manusia yang percaya bahwa setiap diri ada keterbatasannya dan setiap agama mengharuskan kearifan pemeluknya. Selebihnya, biarlah Tuhan yang bicara.
Musuh dalam Cermin, Fundamentalisme Islam dan Batas Rasionalisme Modern
Penulis: Roxanne L. Euben
Penerjemah: Satrio Wahono
Penerbit: Serambi Ilmu Semesta
Tahun terbit: 2002
Tebal: 336 hlm
ISBN/ukuran: 979-96382-3-2/13,5 x 20,5 cm
Sinopsis Buku
Euben adalah sedikir dari nonmuslim di Barat yang berhasil membaca fundamentalisme Islam dengan akurat. Kebanyakan dari mereka melihat fenomena ini dalam kaitannya dengan pergolakan sosial ekonomi atau memandangnya sebagai refleksi irasional terhadap modernitas. Namun melalui buku ini Euben menawarkan pendektan baru tentang salah satu bentuk keberagaman tersebut. Ia memaknai fundamentalisme Islam sebagai kritik dan sanggahan terhadap wacana rasionalitas dan teori politik pasca-pencerahan. Dalam bukunya ini, Euben menggunakan teori politik, teori posmodernitas, teori kritis, juga studi Timur Tengah, pemikiran Islam, politik perbandingan, dan antoropologi untuk memosisikan pemikiran Islam fundamentalis dalam konteks transkultural. Dalam hal ini, Euben dalam bab III mendedah pemikiran Sayyid Qutb, yakni pemikiran-pemikiran politiknya. Ia menyatakan bahwa karya Qutb adalah salah satu gambaran berpengaruh mengenai pandangan kesemestaan Islam. Karya Qutb adalah kritik lugas sekaligus penuh warna terhadap modernitas dan epistemologi pasca pencerahan yang menggejala dalam pemikiran politik Islam Sunni. Ia juga menjelaskan dimensi pergerakan Islam yang belum dicermati sebelumnya, dan menguak kegelisahan dalam pemikiran politik di Barat kontemporer tentang sifat dan batas rasionalisme modern, sebuah kegelisahan yang lazim ada dalam fundamentalisme Kristen, posmodernisme, konservatisme, dan komunitarianisme.
Selingkuh Dua Pemikir Raksasa, Hannah Arendt-Martin Heidegger
Penulis: Elzbieta Ettinger
Penerjemah: P Hasudungan Sirait & Rin Hindryati P
Penerbit: Penerbit Nalar
Tahun terbit: 2005
Tebal: xxxvii+173 hlm
ISBN/ukuran: 979-99395-2-6/13 x 20 cm
Sinopsis Buku
Buku ini menceritakan mengenai perselingkuhan antara dua pemikir besar Hannah Arendt dan Martin Heidegger, baik dalam pengertian kisah percintaan maupun pemikiran besar mereka. Arendt yang baru berusia 18 tahun ketika kali pertama bertemu dengan gurunya, Heidegger di Universitas Marburg, yang sudah berumur 35 tahun dan memiliki dua anak. Hubungan mereka secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga fase, yakni 1925 hingga 1930, ketika keduanya kali pertama bertemu dan menjadi kekasih; awal 1930-an -ketika Heidegger bergabung dengan Nazi pada 1933- hingga tahun 1950 ketika kehidupan mereka sama sekali berubah akibat kebangkitan Sosialis Nasional dan Perang Dunia Kedua; dan 1950 sampai 1975, yakni ketika dengan inisiatif dari Arendt mereka memulai kembali hubungan lamanya, atau setidaknya membangun sesuatu yang baru dan berakhir ketika Arendt meninggal. Ettinger sebenarnya mujur ketika ia dapat mengakses arsip Hannah Arendt Bluecher Literary Trust, New York dan Heidegger di Marbach am Neckar di Jerman. Ettinger agaknya adalah orang pertama yang mengungkap jalinan asmara guru-murid ini secara khusus dan mendalam. Di samping mendapat pujian, Ettinger juga menuai kritik, di antaran dari Seyla Benhabib, Lisa Dish, Alan Ryan, Barel Lang, dan Dana Villa. Seyla misalnya, dalam resensinya di Boston Review menyatakan bahwa Ettinger telah menggambarkan Arendt layaknya perempuan dungu serta sikap melebih-lebihkan “dosa” Heidegger seraya menggarisbawahi posisi Arendt sebagai korban. Diceritakan, pada masa-masa sakitnya Heidegger yang dirawat oleh istrinya, Elfride Heidegger, Arendt adalah orang yang paling ditemuinya dan memberinya semngat hidup. Memang, filsuf juga manusia, sebesar apapun mereka.
Sosiologi Agama, terjemahan dari; The Sociology of Religion
Penulis: Thomas F. O’Dea
Penerjemah: Tim Penerjemah YASOGAMA
Penerbit: CV. Rajawali
Tahun: April 1985
Ketebalan: 227 hal, i-ii
Ukuran dan ISBN: 14×21 cm/ 85. 0146 RAJ
Sinopsis Buku
Buku kecil ini dipersembahkan sebagai buku pengenalan awal sosiologi agama. Akan tetapi, buku ini sebenarnya lebih dari sekedar buku pengenalan awal saja. Ia juga merupakan buku tentang teori, mengingat kata tersebut dalam pengertian ilmiah berarti sekumpulan gagasan dan konsep yang menggambarkan lapangan studi yang menyangkut masalah-masalah penelitian. Di sini diketengahkan perbendaharaan analisa serta skema konseptual. Buku ini menjauhkan diri dari generalisasi tingkat tinggi tanpa referensi empiris langsung dan sebisanya menggunakan sedikit mungkin jargon teknis.
Sebagai teori ilmiah yang menyediakan kerangka acuan bagi pemikiran dan penelitian, kumpulan konseptual dalam buku ini sangat mengesankan. Ia mengetengahkan sumbangan berbagai sarjana dari berbagai generasi, mulai dari Vico dan Comte sampai pada karya-karya kontemporer dalam lapangan ini. Sumbangan dari beberapa tokoh tersebut, seperti Durkheim, Freud, dan Weber, benar-benar disampaikan secara khusus. Tetapi ini adalah produk kelompok yang memperoleh bantuan dari banyak sosiolog dan para sarjana lainnya. Dalam pengertian teknis, sosiologi agama hanya merupakan satu aspek studi hubungan antara gagasan-gagasan dan prinsip yang diwujudkan dalam gerakan dan lembaga serta asal usul situasinya.
Di samping mengetengahkan pengenalan awal bagi sosiologi agama dan penyataan sekumpulan teori yang ada, buku ini juga memberikan kepada pembaca suatu ringkasan singkat mengenai pendekatan sosiologis terhadap penafsiran fenomena keagamaan. Selamat membaca.
Teori-teori Agama Primitif, terjemahan dari; Primitives Theories of Religion
Penulis: Evans Pritchard
Penerjemah: Adi Gunawan
Penerbit: Pena Press
Tahun: April 1983
Ketebalan: 163 hal, i-ii
Ukuran dan ISBN: 14×21 cm/ 85. 0146 DSU
Sinopsis buku
Buku ini membahas masalah cara yang dipakai oleh berbagai penulis yang dapat dianggap sebagai ahli antropologi, atau paling tidak menulis di bidang antropologi, yang berusaha untuk mengerti dan membahas tentang kepercayaan dan praktek-praktek keagamaan pada masyarakat primitif. Bila seseorang bertanya keuntungan apakah yang dapat kita raih dari agama-agama masyarakat primitif? Pertama-tama, penulis akan menjawab bahwa beberapa tokoh penting bidang filsafat-politik, sosial dan moral, mulai dari Hobbes, Locke dan Rousseau sampai pada Herbert Spencer, Durkheim, dan Bergson berkeyakinan bahwa fakta-fakta kehidupan primitif mempunyai arti penting untuk dapat memahami suatu kehidupan sosial pada umumnya. Dan lebih jauh lagi, orang-orang yang bertanggungjawab atas perubahan iklim pemikiran dalam peradaban kita selama satu abad yang lampau, yaitu para pencipta mitos besar: Darwin, Marx, Freud, dan Frazer, semuanya memperlihatkan minat mereka yang besar terhadap orang-orang primitif dan memanfaatkan pengetahuan orang-orang primitif itu dalam usaha untuk meyakinkan kita bahwa meskipun apa yang pernah dapat memberikan kegairahan dan dorongan pada masa lampau tidak dapat lagi berbuat serupa namun semua itu tidaklah hilang dilihat di dalam rentetan sejarah.
Menurut penulis, agama-agama primitif adalah bagian dari agama pada umumnya. Semua orang yang berminat terhadap agama haruslah mengakui bahwa suatu studi tentang pandangan dan praktek-praktek keagamaan pada masyarakat primitif yang beraneka ragam coraknya akan sangat menolong kita untuk sampai pada kesimpulan-kesimpulan tertentu tentang hakikat agama pada umumnya.
Sosiologi Sekularisasi, terjemahan dari; The Sociology of Secularization
Penerjemah: Moechtar Zoerni
Penerbit: Tiara Wacana, Yogyakarta
Tahun: Agustus 1992
Ketebalan: 220 hal+indeks
Ukuran dan ISBN: 14×21 cm/ 979-655-8120-39-6
Sinopsis Buku
Kemajuan dan teknologi bisa dituduh sebagai biang keladi sekularisasi. Terutama sejak Barat belajar dari masa Kejayaan Islam dengan menyisihkan aspek-aspek religiusnya dan melakukan pemisahan gereja dengan negara (berikan hak kaisar pada kaisar, berikan hak tuhan kepada tuhan), maka semakin jelaslah bahwa sekularisasi tidak hanya mendangkalkan nilai-nilai religi, tetapi juga membatasi gerak-geriknya.
Buku ini menyajikan konsep-konsep pendekatan sosiologi terhadap sekularisasi, baik proses, kritik metodologi, maupun teoritisnya. Sangat menarik bagi para pengamat religi, sosiolog, para pembina komunitas agama maupun para pengamat peradaban secara umum.
Perjumpaan dengan Tuhan, terjemahan dari; The Varieties of Religious Experience
Penulis: William James
Penerjemah: Gunawan Admiranto
Penerbit: Mizan, Bandung
Tahun: November 2004
Ketebalan: 755 halaman+indeks
Ukuran dan ISBN: 14×21 cm/ 979-433-352-2
Sinopsi Buku
Dalam buku ini, James menunjukkan bahwa kehidupan beragama secara eksklusif cenderung membuat orang tampak eksentrik dan aneh. Namun, orang-orang semacam ini adalah para genius dalam wilayah agama. Seperti para genius lain yang telah menghasilkan buah yang cukup mengesankan untuk dikenang dalam buku-buku biografi, mereka sering menunjukkan gejala-gejala ketidakstabilan mental. Bahkan mungkin lebih aneh daripada para genius lainnya, para pemimpin agama acap kali mendapat serangan psikis abnormal. Mereka selalu menjadi orang-orang yang memiliki kepekaan emosional yang sangat dalam. Mereka sering menjalani kehidupan penuh konflik dan mengalami suasana melankolis dalam pengembaraan mereka. Mereka tidak mengenal standar; mereka bergantung pada obsesi dan gagasan-gagasan yang tetap. Mereka kerap tenggelam dalam kondisi trans, mendengar suara-suara gaib, mengalami penampakan, dan menunjukkan segala jenis keanehan yang biasa disebut sebagai patologi. Namun ciri-ciri patologis pengembaraan mereka justru memberi pengaruh positif dan otoritas keagamaan.
Akhirnya bagi James, hakekat jenius lebih dekat untuk digolongkan sebagai gejala psikopatis. Ambang kegilaan, keeksentrikan, temperamen kurang waras, hilangnya keseimbangan mental, degenerasi psikopat memiliki kekhasan dan liabilitas yang jika digabungkan dengan keunggulan kualitas intelektual seorang individu membuatnya lebih mungkin mewujudkan prestasi dan memengaruhi zaman. Oleh karena itu, jika seseorang memiliki paduan intelek yang unggul dan temperamen psikopatis-sebagaimana aneka ragam sifat manusia cenderung berpadu-ia memiliki syarat terbaik untuk dimasukkan ke dalam golongan genius dan untuk dicatat dalam kamus biografi.
Tinggalkan Balasan